Akhirnya kami masak
Eh engga deng. Istriku yang masak. Sedangkan Aku bermain dengan kucing di pelataran. Sambil menunggu masakan dari Kesayangan kami matang
Kami belanja di warung dekat rumah itu. Yang seperbelokan saja jaraknya. Yang aku ceritakan tentang kentangnya tempo hari itu lho
Sudah kami ketahui, nama warungnya adalah warung Sitanggang. Ada stiker kecil tertempel di salahsatu temboknya. Warung Sitanggang, pemiliknya tentulah bukan orang Pekalongan. Bukan pula orang mBoyolali
Di warung Sitanggang kami sudah membeli rupa-rupa bahan pangan. Istriku, Kesayangan kami itu, sudah memasak kentang , telur, ayam, udang, nasi goreng dan tentunya mi instan buat kami
Pakai bumbu instan saja teh apa – apa gampang sekarang
kata Mama Sitanggang tempo hari. Istri saya sedang memilih-milih bumbu dapur untuk goreng tempe dan ayam
Pertama kali dalam semestanya istriku akan memasakkan aku ayam goreng. Di tanah Sunda ini, dari bahan-bahan yang dibeli dari penjual Batak tersebut
Istriku menolak tawaran Mama Sitanggang. Pokoknya tidak instan. Walau mengulek. Walau makan waktu lebih lama. Demi kesayangannya yang sedang ingin makan ayam, ternyata itu tidak masalah
Eh engga deng. Aku ini tidak rewel soal makanan. Apa yang istriku ingin makan, aku bisa ikut cerna. Apa yang istriku sedang masak, aku akan lahap. Walaupun (seandainya) tidak enak, Insya Allah, aku tidak mengeluh
Tapi, masakan istriku, kesayangan kami ini, sungguh enak sekali. Iya. Beneran
Lagipula ya, kawan-kawan, di masa kehadiran Markonah ini, masih banyak hal bisa kita keluhkan secara serius daripada sekedar kekurangan pada masakan atau rasa jajanan pinggir jalan
Agar batin kita damai, agar hidup kita berlanjut, agar iramanya harmonis kembali
Kawan-kawan, akhirnya kami masak, menyambut kenormalan baru, merayakan peradaban dunia selanjutnya. Karena, berkat Markonah, kita memang tidak akan bisa kembali ke dunia yang dulu lagi.
.
.
Subscribe lewat email agar tidak ketinggalan tulisan lainnya