Tempo hari saya dapat email dari PT Google Indonesia. Ini screenshot nya :

Screenshot email cinta dari Google
Inti dari email itu adalah per tanggal 1 Oktober 2019 nanti, Google akan memasukkan komponen Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) sebesar 10% pada jumlah biaya yang saya dan para advertiser ( para pengiklan lain ) keluarkan untuk iklan.
Soal datangnya email ini, saya tidak kaget – kaget amat sih, soalnya sudah tahu suatu saat ini akan terjadi, hehe.
( Semua bisa dirunut mulai dari berita ini )
Sejak tahun 2015, saya sudah menggunakan Google Ads sebagai salah satu saluran tempat saya beriklan berbagai penawaran produk dan jasa bisnis kami.
Walau besaranya masih kalah dari biaya yang saya keluarkan untuk beriklan lewat Facebook & Instagram.
Tapi, pengumuman pajak Google ini jadi penting
Saya malah senang Google kena pajak
Jangan salah paham, saya ini pro agar Google, Facebook dan kawan – kawannya yang berbisnis di Indonesia ini kena pajak.
Mereka ini pendapatannya besar lho. Dan, dalam hal ini Google, memang pintar sekali berkelit soal pajak

Salah satu ilustrasi cara Google berkelit dari kewajiban bayar pajak. Sumber : The Australian
Kan bagus kalau Indonesia dapat pajak dari perusahaan – perusahaan triliunan ini. Walaupun…
Pajak itu secara tidak langsung diperoleh dari para pengguna jasanya seperti saya ini hehe.
Ngomong – ngomong, berapa sih besaran potensi pajak yang bisa diperoleh per-individu ?
Ilustrasinya lebih kurang begini :
Untuk beriklan di Google Ads ( juga Facebook ) , pengalaman saya bisa dimulai Rp10.000 / hari. Rp300.000/bulan.
Bentuk pembayaran iklannya bisa melalui kartu kredit atau kartu debit tertentu. Seperti saya menggunakan Mandiri. Dan kita akan ditagih setiap bulan atau ketika ambang-batas ( threshold ) yang diberikan untuk akun iklan kita tercapai.
Tapi, sebutlah kita beriklan menghabiskan Rp300.000, berarti kita akan membayar tagihan sebesar Rp330.000. Rp30.000 ini dibayarkan ke negara (?).
Bayangkan jika seseorang beriklan hingga Rp30.000.000 ( tiga puluh juta perbulan ). Maka besaran pajak yang didapatkan dari tiap pengguna platform iklan adalah Rp3.000.000 per bulan.
Alhamdulillah.

Bu Sri waktu ngasih pengumuman kalau Google harus penuhi kewajiban pajak. Kalau ngga nanti akan dibawa ke pengadilan. Sumber foto : ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/ama/16
Saya dan para wajib pajak lain harus apa ya ?
Saya lihat di grup atau forum, tidak ada pengiklan ( advertiser ) yang terlalu ribut menanggapi aturan pajak baru ini.
Ya jelas lah.
Saya sebagai salah satu pengiklan ini harus sadar dan waras. Kami kan mendapatkan lebih banyak ( baca: duit ) dari kegiatan usaha yang menggunakan Google ( juga Facebook ) sebagai media periklanan.
Lebih banyak dari siapa ?
Ya dari ” kebanyakan orang ” . Karyawan, guru, perawat, dan lain – lain
Dan selama ini, saya juga menyadari menikmati lubang pajak yang selama ini didapatkan Google.
Tapi, memang sudah saatnya kami ini ikut aturan. Walaupun berat, karena banyak sekali jenis pajak yang harus seseorang bayarkan di bumi Indonesia ini memang 🤣.
Paling yang kerasa dan belum terbiasa adalah bagaimana profit yang selama ini kami nikmati tergerus biaya yang harus dibayarkan untuk potongan pajak.
Tapi, itulah salah satu tantangannya menjadi seorang entrepreneur. Setelah ini :
- Berarti, bisnis harus makin profitable alias profitebel.
- Materi iklan yang kami buat harus makin baik.
- Kualitas produk dan layanan harus ditingkatkan
- Serta memerkuat channel pemasaran secara organik.
Di ekosistem ( digital ) marketing ini, berarti saya harus memperkuat :
- Eksistensi di media sosial
- Search Engine Optimization ( SEO ) lewat blog atau Youtube
- Membuat Word of Mouth ( WoM ) bekerja
- O 2 0 strategy, Online to Offline
Saya berharap kontribusi tambahan ini bisa sedikit membantu negara menghadirkan layanan kesehatan, beasiswa, sembako, pupuk, renovasi jembatan, imunisasi atau apapun yang dibutuhkan rakyat Indonesia.
Halah, sok istimewa. hehe.
Yah, pokoke, bisnis harus dijaga terus untung agar bisa bayar pajak dan ga buntung.
( UPDATE ) Saya mau ngajak ngomong serius dikit…
Sebenarnya, semua ini mengarah kemana sih ?
Mungkin terlalu jauh, tapi di ujung jalan sana memang begini : Indonesia harus memersiapkan diri memiliki skala ekonomi yang lebih besar.
Infrastruktur jalan, listrik, bendungan, maritim, pertanian sedang diarahkan kesana.
Yang pada akhirnya, jika dikelola dengan amanah, amatlah baik, karena :
Kita perlu membiaya pendidikan, kesehatan, militer, olahraga, kesenian, ketahanan pangan, riset, sanitasi, air bersih, bahkan memersiapkan diri dari berbagai dampak Climate Change
Yang mana, menurut saya sih, memang tidak mungkin terpenuhi dengan apa yang kita miliki sekarang ( baca : DUIT ! )

Banyak hal perlu diperbaiki, ditingkatkan, dilakukan Sumber : Akun twitter @UnicefIndonesia
Nah, itu lah kenapa kamu ga bijak kalau melulu ngamuk – ngamuk soal pemerintah hutang buat bangun ini itu, tapi kamu dipajakkin aja rewel betul.
Masalahnya bukan pemerintah yang memajaki kamu itu. Tapi, memang kamu tu harus kena pajak ( baca lagi : dalam kasus ini, para pengiklan di platform Google )
Seperti hutang sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan, begitu pula pajak mu.
Sebutlah kamu ga mau kena pajak, ya kasih argumen dan solusinya ya. Saya juga pengen dicerahkan.
Tapi, semua itu bisa saja sia – sia
Mungkin karena cukup lama ngajar ya ( 7 tahun ), tapi walaupun kita sebutlah menuju arah yang benar, saya punya kekhawatiran
Pertama, kita ga punya cukup SDM yang berkualitas untuk mengelola negara dengan skala yang lebih besar dari sekarang.
Jadi, ujung-ujungnya, saat segala sesuatu yang sifatnya hardware siap, ealah gusti, software nya ga mumpuni. Sama aja ga bisa jalan.
Kedengerannya porsi perhatian negara buat pendidikan tuh gede ya. Padahal ngga lho

Coba lihat 2 kementerian terbawah. Sumber : Databoks.co.id
Udah gitu, konon hasil dari anggaran tersebut juga ga maksimal
Mungkin ada baiknya juga ya anggaran pendidikan ga ditingkatin dulu sampai tau gimana bikin pemanfaatan anggaran yang optimal ? hehe
Yang kedua, semangat untuk menjadi bangsa dengan skala yang lebih besar bisa sia – sia kalau kita disibukkan ke hal – hal remeh macam ribut – ribut pilpres kemarin.
Sudah baca artikel yang ini belum dari pak Dahlan Iskan ?
Padahal nih ya, kamu seharusnya tahu bahwa diatas sana itu mereka para politisi itu saling berkelindan dan berkepentingan.
Misal, jangan – jangan ada deal – deal tertentu terkait ibukota baru.
Gimana, apa itu sepadan dengan segala macam keributan, ngamuk-ngamuk, hoax pecah belah yang ada diantara kamu selama ini ?😆
Yang ketiga, kita akan gagal kalau para pengkhianat bangsa masih ada
Mereka antara lain para koruptor, mafia impor, dan kartel di dunia pertanian-perikanan.
Bayangin deh, kamu, saya, ibu-bapak guru, buruh, berusaha taat bayar pajak, ealah di korupsi pula pengadaan e-KTP, bantuan bencana, hingga dana bikin jalan di desa. Apa ga pengen nabokin ?

Yang bikin infografis aja pemerintah. Percaya lah.
Mafia impor juga nih. Astaga. Membingungkan kadang bagaimana badan – badan pemerintah itu tidak punya kemampuan ilmu dan teknologi buat tau kapan panen raya sehingga ga impor, gimana ngatur jumlah ayam beredar di pasar, gimana ngatur wilayah mana nanam cabe dan sebagainya.
Lha, tau-tau ngajuin izin impor pas punya stok berlebih !

Kacau balau karena mafia ! Sumber : Kompas.com
Ini terakhir, mungkin ini subjektifitas saya. Tapi, biarlah
Banyak yang bilang perbedaan di negara ini adalah berkah buat kita. Bisa jadi ngga tapi malah jadi bom waktu.
Saya memang punya kepercayaan kalau banyak negara itu takut kita ini bersatu dan menjadi besar.
Negara dengan tipikal kayak kita nih, kaya sumber daya alam, terdiri dari berbagai suku bangsa, dan sedang berkembang, rawan diacak – acak pihak lain yang punya kepentingan.
Misal, kepentingan untuk menjadikan kita sebagai pasar sebagai pengguna suatu produk / jasa. Dan selalu jadi pasar.
Terus kita diganggu. Mau benahi pendidikan, diganggu. Mau majukan pertanian, diganggu. Mau berantas narkoba, diganggu.
Mau ekspor barang jadi, diganggu. Mau mengembangkan senjata sendiri, diganggu. Mau bikin mobil listrik, diganggu. Dan seterusnya.
Diganggunya pakai apa ?
Ya macam – macam, misal yang terus bikin kita ribut satu sama lain. Per individu atau kelompok. Yang menghabiskan energi dan menyita fokus.
Atau munculnya para pengkhianat yang mengambil keuntungan dari keadaan Indonesia yang melulu jadi pasar pengguna.
Jangan – jangan benar ya kita sulit bersatu untuk berangkat menuju ke tujuan yang sama ? Sulit karena masing – masing punya agenda yang berbeda ?
Bisa. Kita pasti bisa pergi sama – sama.
Sama – sama hidup. Hidup sama – sama.
Dan jangan lupa bayar pajak jika kamu memang harus bayar.
….
….
Jangan lupa subcribe blog ini lewat email ya